Kamis, 10 Februari 2011

Fonologi Kebahasaan

A. Fonologi dan Bidang Pembahasannya
Bahwa bahasa adalah sisten bunyi ujar sudah disadari oleh para linguis. Oleh karena itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik.
Konsekuensi logis dari anggapan – bahkan keyakinan – ini adalah dasar analisis cabang-cabang linguistik apa pun (: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dan lainnya) berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan konsentrasinya masing-masing. Misalnya, fonologi berkonsentrasi pada persoalan bunyi, morfologi pada persoalan struktur internal kata, sintaksis pada persoalan susunan kata dalam kalimat, semantik pada persoalan makna kata, dan leksikologi pada persoalan perbendaharaan kata.
Dari sini dapat dipahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselediki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut pandang.
Pertama, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik.
Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik.
Dari dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu (1) fonetik dan (2) fonemik. Secara lebih rinci, kedua cabang kajian fonologi ini diuraikan pada bab-bab berikutnya.


B. Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain, baik linguistik teoretis maupun terapan. Misalnya morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dialektologi, pengajaran bahasa, dan psikolinguistik. Apalagi, korpus data yang menjadi sasaran analisinya adalah bahasa lisan.
Bidang morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulai dari perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Ketika ingin menjelaskan, mengapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara bervariasi antara [pukUl] dan [pUkUl], serta diucapkan [pukulan] setelah mendapatkan proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {–an}, praktis “minta bantuan” hasil studi fonologi. Begitu juga, mengapa morfem prefiks {məN-} ketika bergabung dengan morfem dasar {baca}, {daki}, {garap}, {jerit} menjadi [məmbaca], [məndaki], [məŋgarap’], dan [məñjərīť], dan ketika bergabung dengan morfem dasar {pacu}, {tari}, {kuras}, {sayat} menjadi [məmacu], [mənari], [məŋuras], [məñayať]? Jawabannya juga memanfaatkan hasil studi fonologi.
Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu di sini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan Kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang berbeda, padahal masing-masing terdiri atas tiga kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ter-nyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara bervariasi [tahu], [tau], [teras], dan [təras] akan bermakna lain, sedangkan kata duduk dan bidik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], dUdU?], [bidī?], [bīdī?] tidak membedakan makna? Hasil analisis fonologislah yang bisa membantunya.
Bidang leksikologi, juga leksokografi, yang berkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan yang khas suatu kata dan variasi pengucapan hanya bisa dideskripsikan secara cermat lewat transkripsi fonetis.
Bidang dialektologi, yang bermasud memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa baik secara sosial maupun geografis. Variasi-variasi ucapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi.
Begitu juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa (khususnya pengajaran bahasa kedua dan pengajaran bahasa asing) yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada pembelajar (the learner). Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil kajian fonologi.
Psikolinguistik ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan hasil kajian fonologi. Mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi-bunyi labiodental, mengapa bunyi lateral dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi tril, mengapa bunyi vokal rendah-depan dikuasai lebih dahulu dari pada vokal tinggi-belakang, bisa dijelaskan dengan gamblang lewat analisis fonetik artikulatoris.
Dalam bidang klinis, hasil kajian fonologi (khsususnya fonetik) dapat dimanfaatkan untuk menangani orang atau anak yang mengalami hambatan berbicara dan mendengar. Pada awal tahun 2000-an ini telah muncul buku yang berkaitan dengan klinis ini, misalnya Methods in Clinical Pohonetics, Phonetics for Speech Pathology, Instrumen Clinical Phonetics (ketiganya oleh Martin Ball dan Chris Code), Does Speech and Language Therapy Work? (oleh Pamela Enderby dan Joyce Emerson), Linguistics in Clinical Practice (oleh Kim Grundy), Assessment and Therapy for Young Dysfluent Children: Familiy Interaction (oleh Lena Rustin dan Elaine Kelman), Management of Stuttering in Adolescence: A Cpmmunication Skills Approach (oleh Lena Rustin, Robert Spence, dan France Cook), Developmental Speech Disorders (oleh Pamela Grunwell), dan masih banyak lagi lainnya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa studi fonologi sangat berkaitan dengan (bahkan sangat berperan pada) bidang-bidang linguistik lain baik secara teoretis maupun praktis.


C. Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Ejaan Bahasa
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana me-lambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan, dan sebagainya. Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsur suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tatacara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagi contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang bertkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis.
Terkait dengan pemberlakukan ejaan bahasa Indonesia, ada usulan dari beberapa kalangan yang menarik untuk diperhatikan, yaitu “ucapan bahasa Indonesia hendaknya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia”. Dilihat dari pengkajian fonetik, usulan itu sangat lemah dan tidak berdasar karena selain menyalahi kodrat bahasa juga bertentangan dengan kealamiahan bahasa. Mengapa demikian?
  • Kita tahu bahwa ejaan tumbuh beratus-ratus tahun – bahkan beribu-ribu tahun – setelah bahasa lisan ada. Bahasa lisan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tanpa ejaan. Ejaan diciptakan untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa, bukan sebaliknya. Jadi, tidaklah ada alasan kuat bahwa bahasa (bahasa lisan, pen) harus mengikuti dan tunduk pada ejaan (bahasa tulis, pen).
  • Bahasa mana pun selalu berubah, termasuk bahasa Indonesia. Satu sistem ejaan sesuai dengan bahasa yang dilambangkan pada waktu ejaan itu diciptakan. Oleh karena itu, ejaanlah yang harus disesuaikan terus-menerus seiring dengan perkembangan atau perubahan bunyi pada bahasa yang dilambangkan, bukan sebaliknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar