PGSD UNESA
Kamis, 10 Februari 2011
Fonologi Kebahasaan
A. Fonologi dan Bidang Pembahasannya
Bahwa bahasa adalah sisten bunyi ujar sudah disadari oleh para linguis. Oleh karena itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik.
Konsekuensi logis dari anggapan – bahkan keyakinan – ini adalah dasar analisis cabang-cabang linguistik apa pun (: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dan lainnya) berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan konsentrasinya masing-masing. Misalnya, fonologi berkonsentrasi pada persoalan bunyi, morfologi pada persoalan struktur internal kata, sintaksis pada persoalan susunan kata dalam kalimat, semantik pada persoalan makna kata, dan leksikologi pada persoalan perbendaharaan kata.
Dari sini dapat dipahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselediki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut pandang.
Pertama, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik.
Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik.
Dari dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu (1) fonetik dan (2) fonemik. Secara lebih rinci, kedua cabang kajian fonologi ini diuraikan pada bab-bab berikutnya.
B. Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain, baik linguistik teoretis maupun terapan. Misalnya morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dialektologi, pengajaran bahasa, dan psikolinguistik. Apalagi, korpus data yang menjadi sasaran analisinya adalah bahasa lisan.
Bidang morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulai dari perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Ketika ingin menjelaskan, mengapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara bervariasi antara [pukUl] dan [pUkUl], serta diucapkan [pukulan] setelah mendapatkan proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {–an}, praktis “minta bantuan” hasil studi fonologi. Begitu juga, mengapa morfem prefiks {məN-} ketika bergabung dengan morfem dasar {baca}, {daki}, {garap}, {jerit} menjadi [məmbaca], [məndaki], [məŋgarap’], dan [məñjərīť], dan ketika bergabung dengan morfem dasar {pacu}, {tari}, {kuras}, {sayat} menjadi [məmacu], [mənari], [məŋuras], [məñayať]? Jawabannya juga memanfaatkan hasil studi fonologi.
Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu di sini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan Kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang berbeda, padahal masing-masing terdiri atas tiga kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ter-nyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara bervariasi [tahu], [tau], [teras], dan [təras] akan bermakna lain, sedangkan kata duduk dan bidik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], dUdU?], [bidī?], [bīdī?] tidak membedakan makna? Hasil analisis fonologislah yang bisa membantunya.
Bidang leksikologi, juga leksokografi, yang berkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan yang khas suatu kata dan variasi pengucapan hanya bisa dideskripsikan secara cermat lewat transkripsi fonetis.
Bidang dialektologi, yang bermasud memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa baik secara sosial maupun geografis. Variasi-variasi ucapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi.
Begitu juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa (khususnya pengajaran bahasa kedua dan pengajaran bahasa asing) yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada pembelajar (the learner). Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil kajian fonologi.
Psikolinguistik ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan hasil kajian fonologi. Mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi-bunyi labiodental, mengapa bunyi lateral dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi tril, mengapa bunyi vokal rendah-depan dikuasai lebih dahulu dari pada vokal tinggi-belakang, bisa dijelaskan dengan gamblang lewat analisis fonetik artikulatoris.
Dalam bidang klinis, hasil kajian fonologi (khsususnya fonetik) dapat dimanfaatkan untuk menangani orang atau anak yang mengalami hambatan berbicara dan mendengar. Pada awal tahun 2000-an ini telah muncul buku yang berkaitan dengan klinis ini, misalnya Methods in Clinical Pohonetics, Phonetics for Speech Pathology, Instrumen Clinical Phonetics (ketiganya oleh Martin Ball dan Chris Code), Does Speech and Language Therapy Work? (oleh Pamela Enderby dan Joyce Emerson), Linguistics in Clinical Practice (oleh Kim Grundy), Assessment and Therapy for Young Dysfluent Children: Familiy Interaction (oleh Lena Rustin dan Elaine Kelman), Management of Stuttering in Adolescence: A Cpmmunication Skills Approach (oleh Lena Rustin, Robert Spence, dan France Cook), Developmental Speech Disorders (oleh Pamela Grunwell), dan masih banyak lagi lainnya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa studi fonologi sangat berkaitan dengan (bahkan sangat berperan pada) bidang-bidang linguistik lain baik secara teoretis maupun praktis.
C. Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Ejaan Bahasa
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana me-lambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan, dan sebagainya. Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsur suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tatacara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagi contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang bertkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis.
Terkait dengan pemberlakukan ejaan bahasa Indonesia, ada usulan dari beberapa kalangan yang menarik untuk diperhatikan, yaitu “ucapan bahasa Indonesia hendaknya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia”. Dilihat dari pengkajian fonetik, usulan itu sangat lemah dan tidak berdasar karena selain menyalahi kodrat bahasa juga bertentangan dengan kealamiahan bahasa. Mengapa demikian?
Bahwa bahasa adalah sisten bunyi ujar sudah disadari oleh para linguis. Oleh karena itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik.
Konsekuensi logis dari anggapan – bahkan keyakinan – ini adalah dasar analisis cabang-cabang linguistik apa pun (: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dan lainnya) berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan konsentrasinya masing-masing. Misalnya, fonologi berkonsentrasi pada persoalan bunyi, morfologi pada persoalan struktur internal kata, sintaksis pada persoalan susunan kata dalam kalimat, semantik pada persoalan makna kata, dan leksikologi pada persoalan perbendaharaan kata.
Dari sini dapat dipahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselediki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut pandang.
Pertama, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik.
Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik.
Dari dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu (1) fonetik dan (2) fonemik. Secara lebih rinci, kedua cabang kajian fonologi ini diuraikan pada bab-bab berikutnya.
B. Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain, baik linguistik teoretis maupun terapan. Misalnya morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dialektologi, pengajaran bahasa, dan psikolinguistik. Apalagi, korpus data yang menjadi sasaran analisinya adalah bahasa lisan.
Bidang morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulai dari perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Ketika ingin menjelaskan, mengapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara bervariasi antara [pukUl] dan [pUkUl], serta diucapkan [pukulan] setelah mendapatkan proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {–an}, praktis “minta bantuan” hasil studi fonologi. Begitu juga, mengapa morfem prefiks {məN-} ketika bergabung dengan morfem dasar {baca}, {daki}, {garap}, {jerit} menjadi [məmbaca], [məndaki], [məŋgarap’], dan [məñjərīť], dan ketika bergabung dengan morfem dasar {pacu}, {tari}, {kuras}, {sayat} menjadi [məmacu], [mənari], [məŋuras], [məñayať]? Jawabannya juga memanfaatkan hasil studi fonologi.
Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu di sini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan Kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang berbeda, padahal masing-masing terdiri atas tiga kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ter-nyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara bervariasi [tahu], [tau], [teras], dan [təras] akan bermakna lain, sedangkan kata duduk dan bidik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], dUdU?], [bidī?], [bīdī?] tidak membedakan makna? Hasil analisis fonologislah yang bisa membantunya.
Bidang leksikologi, juga leksokografi, yang berkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan yang khas suatu kata dan variasi pengucapan hanya bisa dideskripsikan secara cermat lewat transkripsi fonetis.
Bidang dialektologi, yang bermasud memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa baik secara sosial maupun geografis. Variasi-variasi ucapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi.
Begitu juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa (khususnya pengajaran bahasa kedua dan pengajaran bahasa asing) yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada pembelajar (the learner). Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil kajian fonologi.
Psikolinguistik ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan hasil kajian fonologi. Mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi-bunyi labiodental, mengapa bunyi lateral dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi tril, mengapa bunyi vokal rendah-depan dikuasai lebih dahulu dari pada vokal tinggi-belakang, bisa dijelaskan dengan gamblang lewat analisis fonetik artikulatoris.
Dalam bidang klinis, hasil kajian fonologi (khsususnya fonetik) dapat dimanfaatkan untuk menangani orang atau anak yang mengalami hambatan berbicara dan mendengar. Pada awal tahun 2000-an ini telah muncul buku yang berkaitan dengan klinis ini, misalnya Methods in Clinical Pohonetics, Phonetics for Speech Pathology, Instrumen Clinical Phonetics (ketiganya oleh Martin Ball dan Chris Code), Does Speech and Language Therapy Work? (oleh Pamela Enderby dan Joyce Emerson), Linguistics in Clinical Practice (oleh Kim Grundy), Assessment and Therapy for Young Dysfluent Children: Familiy Interaction (oleh Lena Rustin dan Elaine Kelman), Management of Stuttering in Adolescence: A Cpmmunication Skills Approach (oleh Lena Rustin, Robert Spence, dan France Cook), Developmental Speech Disorders (oleh Pamela Grunwell), dan masih banyak lagi lainnya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa studi fonologi sangat berkaitan dengan (bahkan sangat berperan pada) bidang-bidang linguistik lain baik secara teoretis maupun praktis.
C. Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Ejaan Bahasa
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana me-lambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan, dan sebagainya. Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsur suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tatacara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagi contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang bertkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis.
Terkait dengan pemberlakukan ejaan bahasa Indonesia, ada usulan dari beberapa kalangan yang menarik untuk diperhatikan, yaitu “ucapan bahasa Indonesia hendaknya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia”. Dilihat dari pengkajian fonetik, usulan itu sangat lemah dan tidak berdasar karena selain menyalahi kodrat bahasa juga bertentangan dengan kealamiahan bahasa. Mengapa demikian?
- Kita tahu bahwa ejaan tumbuh beratus-ratus tahun – bahkan beribu-ribu tahun – setelah bahasa lisan ada. Bahasa lisan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tanpa ejaan. Ejaan diciptakan untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa, bukan sebaliknya. Jadi, tidaklah ada alasan kuat bahwa bahasa (bahasa lisan, pen) harus mengikuti dan tunduk pada ejaan (bahasa tulis, pen).
- Bahasa mana pun selalu berubah, termasuk bahasa Indonesia. Satu sistem ejaan sesuai dengan bahasa yang dilambangkan pada waktu ejaan itu diciptakan. Oleh karena itu, ejaanlah yang harus disesuaikan terus-menerus seiring dengan perkembangan atau perubahan bunyi pada bahasa yang dilambangkan, bukan sebaliknya.
Hakikat, Fungsi, dan Ragam Bahasa Indonesia
Hakikat, Fungsi, dan Ragam Bahasa Indonesia
Hakikat, Fungsi, dan Ragam Bahasa IndonesiaTujuan mempelajari kajian bahasa indonesia :
- menjelaskan hakikat bahasa Indonesia,
- menjelaskan fungsi bahasa Indonesia,
- menjelaskan ragam bahasa Indonesia.
- membedakan ragam baku dan tidak baku
- membedakan ragam tulis dan lisan
- membedakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
Pengertian bahasa.
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga manusia perlu berinteraksi
dengan manusia yang lainnya. Pada saat manusia membutuhkan eksistensinya
diakui, maka interaksi itu terasa semakin penting. Kegiatan berinteraksi ini
membutuhkan alat, sarana atau media, yaitu bahasa. Sejak saat itulah bahasa
menjadi alat, sarana atau media. Bentuk dasar bahasa adalah ujaran. Ujaranlah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Bahasa = sarana komunikasi mencakup aspek bunyi dan makna
Sifat – sifat bahasa :
- Sistematik karena bahasa memiliki pola dan kaidah yang harus ditaati agar dapat dipahami oleh pemakainya
- Mana suka karena unsur-unsur bahasa dipilih secara acak tanpa dasar
- Ujar , karena bentuk dasar bahasa
- Manusiawi, karena dimanfaatkan manusia.
- Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan informasi timbal-balik antar anggota keluarga ataupun anggota-anggota masyarakat.
- Fungsi ekspresi diri, yaitu untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan,emosi atau tekanan-tekanan perasaan pembaca.
- Fungsi adaptasi dan integrasi, yaitu untuk menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat, melalui bahasa seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit belajar adat istiadat, kebudayaan, pola hidup, perilaku, dan etika masyarakatnya.
- Fungsi kontrol sosial. Bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain.
- Fungsi instrumental, yakni bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu
- Fungsi regulatoris, yaitu bahasa digunakan untuk mengendalikan prilaku orang lain
- Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
- Fungsi personal, yaitu bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
- Fungsi heuristik, yakni bahasa dapat digunakan untuk belajar dan menemukan sesuatu
- Fungsi imajinatif, yakni bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi
- Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan informasi
- Bahasa resmi kenegaraan
- Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
- Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah
- Alat pengembangan kebudayaan
- Fungsi Pemersatu, artinya bahasa Indonesia mempersatukan suku bangsa yang berlatar budaya dan bahasa yang berbeda-beda
- Fungsi pemberi kekhasan, artinya bahasa baku memperbedakan bahasa itu dengan bahasa yang lain
- Fungsi penambah kewibawaan, penggunaan bahasa baku akan menambah kewibawaan atau prestise.
- Fungsi sebagai kerangka acuan, mengandung maksud bahwa bahasa baku merupakan kerangka acuan pemakaian bahasa
Manusia adalah makhluk social yang saling berinteraksi dalam masyarakat menggunakan bahasa, dan dalam masyarakat tersebut terdapat bermacam – macam bahasa yang disebut Ragam Bahasa. Indonesia merupakan Negara yang terdiri atas beribu-ribu pulau, yang dihuni
oleh ratusan suku bangsa dengan pola kebudayaan sendiri-sendiri, pasti melahirkan berbagai ragam bahasa yang bermacam-macam dan ini disebut Ragam Bahasa Indonesia.
Ragam bahasa menurut sudut pandang penutur :
- Ragam daerah ( logat / dialek)
- Ragam pendidikan : 1. Bahasa baku
- Ragam bahasa menurut sikap penutur , gaya atau langgam yang digunakan penutur terhadap orang yang diajak bicara.
- ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan
- ragam menurut sarananya : 1. Lisan : dengan intonasi yaitu tekanan, nada, tempo suara, dan perhentian.
bentuk, pola kalimat, dan tanda baca.
- ragam yang mengalami gangguan pencampuran
- Ragam ilmiah : bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah,ceramah, tulisan-tulisan ilmiah
- Ragam populer : bahasa yang digunakan dalam pergaulan seharihari dan dalam tulisan populer
Ciri – ciri ragam bahasa baku :
- kemantapan dinamis, memiliki kaidah dan aturan yang relatif tetap dan luwes.
- Kecendekiaan, sanggup mengungkap proses pemikiran yang rumit diberbagai ilmu dan tekhnologi
- Keseragaman kaidah adalah keseragaman aturan atau norma
Bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa yang dipergunakan dalam:
- komunikasi resmi, yakni surat-menyurat resmi, pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi, penamaan dan peristilahan resmi, perundang-undangan, dan sebagainya.
- wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karangan ilmiah.
- pembicaraan di depan umum yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah
- pembicaraan dengan orang yang dihormati yakni orang yang lebih tua, lebih tinggi status sosialnya dan orang yang baru dikenal.
- Pemakaian awalan me- dan ber- (bila ada) secara eksplisit dan konsisten.
- b. Pemakaian fungsi gramatikal (subyek, predikat, dan sebagainya secara eksplisit dan konsisten.
- c. Pemakaian fungsi bahwa dan karena (bila ada) secara eksplisit dan konsisten (pemakaian kata penghubung secara tepat dan ajeg.
- d. Pemakaian pola frase verbal aspek + agen + verba (bila ada) secara konsisten (penggunaan urutan kata yang tepat).
- e. Pemakaian konstruksi sintesis (lawan analitis).
- f. Pemakaian partikel kah, lah, dan pun secara konsisten.
- g. Pemakaian preposisi yang tepat.
- h. Pemakaian bentuk ulang yang tepat menurut fungsi dan tempatnya.
- i. Pemakaian unsur-unsur leksikal berikut berbeda dari unsur-unsur yang menandai bahasa Indonesia baku.
- j. Pemakaian ejaan resmi yang sedang berlaku (EYD).
- k. Pemakaian peristilahan resmi.
- Pemakaian kaidah yang baku
Ada dua perbedaan yang mencolok mata yang dapat diamati antara ragam bahas tulis dengan ragam bahasa lisan, yaitu :
- a. Dari segi suasana peristiwa
- b. Dari segi intonasi
Goeller (1980) mengemukakan bahwa ada tiga krakteristik bahasa tulisan yaitu acuracy, brevety, claryty (ABC).
- Acuracy (akurat) adalah segala informasi atau gagasan yang dituliskan dapat memberi keyakinan bagi pembaca bahwa hal tersebut masuk akal atau logis.
- Brevety (ringkas) yang berarti gagasan tertulis yang disampaikan bersifat singkat karena tidak menggunakan kata yang mubazir dan berulang, seluruh kata yang digunakan dalam kalimat ada fungsinya.
- Claryty (jelas) adalah tulisan itu mudah dipahami, alur pikirannya mudah diikuti oleh pembaca. Tidak menimbulkan salah tafsir bagi pembaca.
Berbahasa Indonesia yang baik adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan tempat tempat terjadinya kontak berbahasa, sesuai dengan siapa lawan bicara, dan sesuai dengan topic pembicaraan. Bahasa Indonesia yang baik tidak selalu perlu beragam baku. Yang perlu diperhatikan dalam berbahasa Indonesia yang baik adalah pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa. Ada pun berbahasa Indonesia yang benar adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia.
Pembentukan Karakter
Pembentukan Karakter
Saat kita bertumbuh sebagai manusia, kita membentuk karakter. Kita membentuk kepribadian. Dan peristiwa dalam hidup kita, baik kegembiraan maupun kesedihan, kesenangan maupun penderitaan, kemujuran ataupun bencana, adalah prosesnya.Semua itu membentuk tulang dan rangka kehidupan kita yang kuat. Tulang-tulang yang tadinya rwan, halus, dibentuk oleh peristiwa sehingga ia bisa menjadi kuat. Menopang tubuh kehidupan kita. Membuat kita kuat seperti baja.
Sama dengan rangka baja yang memperkokoh bangunan pencakar langit. Atau rangka baja jembatan. Rangka baja chasis mobil. Rangka baja pesawat terbang, dan kapal penjelajah samudera. Semua rangka baja ini menopang bangunan dan kapal sehingga bisa menjangkau langit, dan menyeberangi samudera, dengan utuh dan penuh integritas.
Coba kita lihat bagaimana rangka besi baja itu dibuat. Ia dibakar, dinyalakan dengan api yang panas. Sehingga meleleh. Mendidih. Dan dialirkan pada cetakan. Kemudian dibentuk dan ditempa. Dihimpit. Ditekan. Akhirnya, keluarlah rangka baja yang cocok dengan tubuh bangunan dan kapal.
Demikian juga hidup kita. Terbakar oleh panasnya kehidupan. Tidak jarang membuat kita menangis, air mata kita meleleh, hati kita panas mendidih. Atau kita dihimpit, ditekan.
Tapi ayo, kita bertahan. Karena dari semua itu kita akan keluar, kokoh seperti baja. Siap mencakar langit, dan menjelajahi samudra. Dan tetap utuh penuh integritas sebagai diri kita sendiri.
i
Langganan:
Postingan (Atom)